Jumat, 10 Juni 2011

Bantuan dan Sumbangan : Hubungan Usaha, Pekerjaan, Kepemilikan & Penguasaan

Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan, batas antara sumbangan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak secara umum adalah apakah di antara pihak pemberi dan penerima sumbangan memiliki hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan. Jika ada hubungan tersebut, maka sumbangan masuk ke wilayah objek pajak.
Dengan demikian, bisa kita pahami bahwa pengertian hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan dan penguasaan rasanya perlu dipertegas yang dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tidak diberikan. Pentingnya pengertian jenis-jenis hubungan ini pernah saya ungkapkan dalam tulisan saya sebelumnya, yaitu : Bantuan dan Sumbangan : Objek dan Non Objek.
Ternyata apa yang saya pikirkan, juga menjadi pemikiran para pembuat kebijakan. Terbukti, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010, pengertian jenis-jenis hubungan ini diatur tersendiri yaitu dalam Pasal 8. Nah, tulisan ini akan menyajikan kembali apa pengertian hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan dan penguasaan terkait Pasal 4 ayat (3) Undang-undang PPh yang diatur dalam PP Nomor 94 Tahun 2010 ini.
Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) PP Nomor 94 Tahun 2010, Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan:
  1. usaha;
  2. pekerjaan; atau
  3. kepemilikan atau penguasaan.
Yang dimaksud dengan “pihak-pihak yang bersangkutan” adalah Wajib Pajak pemberi dan Wajib Pajak penerima bantuan atau, sumbangan, termasuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dan atau harta hibahan.
Hubungan Usaha
Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan usaha antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi apabila terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak
Transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak adalah berupa pembelian, penjualan, atau pemberian imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Dengan demikian, kata kunci dari hubungan usaha ini adalah adanya transaksi rutin. Sayang, tidak ada penjelasan yang lebih detail tentang istilah transaksi yang bersifat rutin ini.
Hubungan Pekerjaan
Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi apabila terdapat hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan kegiatan secara langsung atau tidak langsung antara kedua pihak tersebut.
Terlihat bahwa hubungan pekerjaan ini ternyata lebih luas dari sekedar hubungan pemberi kerja dan pegawai. Lebih dari itu, yang dimaksud hubungan pekerjaan ini juga termasuk hubungan pemberian jasa (yang ini menurut saya masih masuk dalam hubungan usaha), dan pelaksanaan kegiatan secara langsung atau tidak langsung.
Selanjutnya di penjelasan Pasal 8 ayat (3) PP Nomor 94 Tahun 2010 diberikan contoh  hubungan pekerjaan ini.
  1. Tuan B merupakan direktur PT X dan Tuan C merupakan pegawai PT X. Dalam hal ini, antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C terdapat hubungan pekerjaan langsung. Jika Tuan B dan/atau Tuan C menerima bantuan atau sumbangan dari PT X atau sebaliknya, maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan bagi yang menerima karena antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C mempunyai hubungan pekerjaan langsung.
  2. Tuan A bekerja sebagai petugas dinas luar asuransi dari perusahaan asuransi PT X. Meskipun Tuan A tidak berstatus sebagai pegawai PT X, namun antara PT X dan Tuan A dianggap mempunyai hubungan pekerjaan tidak langsung. Jika Tuan A menerima bantuan atau sumbangan dari PT X atau sebaliknya, maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan bagi pihak yang menerima karena antara PT X dan Tuan A mempunyai hubungan pekerjaan tidak langsung.
Hubungan Kepemilikan atau Penguasaan
Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi apabila terdapat:
  1. penyertaan modal secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
  2. hubungan penguasaan secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Perhatikan pengertian hubungan kepemilikan dan penguasaan ini sama dengan hubungan kepemilikan dan penguasaan di Pasal 18 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan. Hal ini berarti, batas hubungan kepemilikan dan penguasaan di sini sama dengan batas hubungan istimewa.
Dengan demikian, sesuai Pasal 18 ayat (4) huruf a UU PPh, hubungan kepemilikan adalah hubungan di mana Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.
Contoh hubungan kepemilikan ini misalnya PT A mempunyai 50% saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.
Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25%. Dalam hal demikian antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan kepemilikan sehingga apabila terdapat sumbangan antara masing masing pihak, sumbangan tersebut merupakan objek pajak.
Apabila PT A juga memiliki 25%  saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D terdapat hubungan kepemilikan untuk menentukan apakah sumbangan merupakan objek pajak atau bukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-undang PPh.
Adapun contoh hubungan penguasaan, sebagaimana terdapat dalam penjelasan Pasal 8 ayat (4) PP 94 Tahun 2010 adalah :
A. Penguasaan manajemen secara langsung:
Tuan A dan Tuan B, adalah direktur PT X, sedangkan Tuan C adalah komisaris X. Selain itu, Tuan C juga menjadi direktur di PT Y, dan Tuan B sebagai komisaris di PT Y.
Tuan B Junior adalah direktur PT AA, sedangkan Tuan E sebagai komisaris PT AA. Tuan B Junior adalah anak dari Tuan B yang menjadi direktur PT X dan komisaris PT Y.
Dalam contoh di atas, antara PT X dan PT Y mempunyai hubungan penguasaan manajemen secara langsung, karena Tuan B selain bekerja sebagai direktur di PT X juga bekerja sebagai komisaris PT Y. Di samping itu, Tuan C selain bekerja sebagai komisaris di PT X juga bekerja sebagai direktur di PT Y. Jika PT X menerima bantuan atau sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.
Demikian pula antara PT Y dan PT AA mempunyai hubungan penguasaan manajemen secara langsung, karena terdapat hubungan keluarga antara Tuan B (ayah) yang bekerja sebagai komisaris di PT Y dengan Tuan B Junior (anak) yang bekerja sebagai direktur di PT AA.
Jika PT AA menerima bantuan atau sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.
Jika Tuan B.Jr (anak) menerima bantuan atau sumbangan atau harta hibahan dari Tuan B (ayah) maka bantuan atau sumbangan atau harta hibahan tersebut dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan, karena yang mempunyai hubungan penguasaan manajemen adalah antara PT Y dengan PT AA, bukan antara Tuan B (ayah) dan Tuan B Junior (anak).
Dengan demikian, hubungan penguasaan manajemen hanya terjadi antara entitas yang pengurusnya sama atau memiliki hubungan keluarga. Sedangkan antara pengurus dalam entitas tersebut tidak memilki hubungan penguasaan.
B. Penguasaan manajemen secara tidak langsung:
Tuan O adalah direktur PT AB, dan Tuan P sebagai komisaris PT AB. Tuan O dan Tuan P nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan PT X, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun Tuan O dan/atau Tuan tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan PT X.
Dalam contoh di atas, antara PT AB dan PT X mempunyai hubungan penguasaan manajemen secara tidak langsung. Jika PT X menerima bantuan atau sumbangan dari PT AB atau sebaliknya maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.

Sumber : Dudi Wahyudi

Siapa Yang Wajib Menyampaikan SPT Dalam Bentuk E-SPT?


Warning : Artikel atau peraturan pajak ini dipublish beberapa saat/ waktu yang lalu  sehingga mungkin saja saat ini sudah tidak relevan lagi, karena sifat pajak yang dinamis.
Sampai dengan saat ini, ada 3 (tiga) media yang digunakan untuk melaporkan SPT yaitu :
  1. Dalam bentuk hardcopi;
  2. Dalam bentuk E-Filing; dan
  3. Dalam bentuk E-SPT.
Dalam kaitannya dengan point nomor 3, sesuai dengan PER 6 /PJ/2009 Tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Dalam Bentuk Elektronik, maka yang wajib menyampaikan SPT dalam bentuk elektronik adalah :
  1. Wajib Pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya termasuk Kantor Pelayanan Pajak dilingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus. Misalnya Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Madya Denpasar, KPP PMA, dsb.
  2. Wajib Pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah DirektoratJenderal Pajak Wajib Pajak Besar.
Sedangkan khusus untuk SPT PPN 1111 dan SPT PPN 1111 DM ada semacam "tambahan" kriteria PKP yang wajib menyampaikan dalam bentuk E-SPT.

SPT PPN 1111


PKP berikut ini wajib menyampaikan SPT PPN 1111 dalam bentuk E-SPT :

  1. melaporkan Pemberitahuan Ekspor Barang, Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak/BKP Tidak Berwujud;
  2. menerbitkan Faktur Pajak selain Faktur Pajak yang menurut ketentuan diperkenankan untuk tidak mencantumkan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual, dan/atau menerima Nota Retur/Nota Pembatalan;
  3. melaporkan Pemberitahuan Impor Barang atas impor BKP dan/atau SSP atas Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/JKP dari luar Daerah Pabean;
  4. menerima Faktur Pajak yang dapat dikreditkan dan/atau menerbitkan Nota Retur/Nota Pembatalan; atau
  5. menerima Faktur Pajak yang tidak dapat dikreditkan atau mendapat fasilitas dan/atau menerbitkan Nota Retur/Nota Pembatalan atas pengembalian BKP/pembatalan JKP yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan atau mendapat fasilitas;
dengan jumlah lebih dari 25 (dua puluh lima) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak.

SPT PPN 1111 DM

PKP berikut ini wajib menyampaikan SPT PPN 1111 DM dalam bentuk E-SPT :
  1. menerbitkan Faktur Pajak selain Faktur Pajak yang menurut ketentuan diperkenankan untuk tidak mencantumkan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual, dan/atau menerima Nota Retur/Nota Pembatalan; atau
  2. menerbitkan Nota Retur/Nota Pembatalan,
dengan jumlah lebih dari 25 (dua puluh lima) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak.

Beberapa Ketentuan Terkait :
  1. PER - 6 /PJ/2009
  2. PER - 44/PJ/2010
  3. PER - 45/PJ/2010
Sumber : Dunia Pajak

NPWP dan Fiskal Bagi WNI Yang Bekerja Di Luar Negeri

Ditulis oleh Indra Riana   
Friday, 09 January 2009
Pertanyaan:
Teman saya seorang WNI telah bekerja di luar negeri selama satu tahun.  Saat ini dia menanyakan apakah dia harus punya NPWP  untuk dapat memanfaatkan bebas Fiskal  Luar Negeri  (FLN), apabila berkunjung ke Indonesia.
Savitri
Jawaban:
Untuk jelasnya saya kutip ketentuan mengenai  kewajiban NPWP dalam UU PPh pasal 2 sebagai berikut :

"1.Subjek Pajak orang pribadi dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah Subjek Pajak orang pribadi dalam negeri  yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan."

Nah, karena teman ibu tinggal di luar negeri sudah lebih dari 183 hari, maka beliau tidak termasuk dalam Subyek Pajak Orang Pribadi  sehingga TIDAK perlu memiliki NPWP selama tinggal di luar negeri tersebut.
Mengenai kewajiban  Fiskal Luar Negeri (FLN) telah diatur dalam   Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2008 tanggal 31 Desember 2008 pasal 7 ayat 4  sebagai berikut:

"4. Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal tetap di luar negeri yang memiliki dokumen resmi sebagai penduduk negeri tersebut, dengan menunjukkan salah satu dari tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk luar negeri berikut ini:

a. Green Card;,
b. Identity Card;
c. Student Card;
d. Pengesahan alamat di luar negeri pada Paspor oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
e. Surat Keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
f.  Tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat."

Sepanjang WNI tersebut termasuk dalam  kategori diatas, tidak perlu bayar Fiskal Luar Negeri,namun ada perkecualian sebagaimana di bawah ini :

Meskipun seseorang mempunyai salah satu tanda pengenal resmi sebagaimana huruf a s.d. f, tetapi dalam kenyataannya tidak tinggal di negara tersebut tetapi tinggal di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, yang bersangkutan wajib membayar Fiskal  Luar Negeri pada saat akan bertolak ke luar negeri.
Jadi kesimpulannya adalah, sepanjang WNI berada/tinggal /bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,  maka WNI terebut  tidak perlu mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP. Karena sebenarnya hak pemajakannya ada pada Negara tempat dimana di berdomisili bukan di Indonesia.
Demikian penjelasan kami (IRDS) 

Sumber: www.pajak.com
Terakhir kali diperbaharui ( Monday, 12 January 2009 )